Minggu, 03 Juni 2012

Manfaat Sastra dan Peran Sastrawan

-Belajar dari personalitas Acep Zamzam Noor

Ada banyak karya sastra dari para sastrawan di negeri ini. Tetapi, perlulah kiranya sejenak menengok buku kumpulan esai berjudul Puisi dan Bulu Kuduk (Penerbit Nuansa Cendekia: Juli 2011), karya Acep Zamzam Noor (50 tahun). Ada apa?

Puisi dan Bulu kuduk perlu diamati bukan karena saat ini sedang tenar digandrungi peminat sastra di Indonesia, melainkan karena isinya yang begitu bagus. Bagus dalam hal apa? Pertama, harus diakui selama ini jarang ditemukan karya apreasiasi sastra yang berupa esai dengan bobot ilmiah sekaligus mengakar pada segmen pembaca yang umum. Bermutu yang saya maksud di sini bukan karena keilmiahan semata, melainkan karena manfaat karya tersebut bagi pembaca.

Ada banyak karya bermutu, tetapi hanya diminati segelintir pembaca. Apa yang biasa disebut karya ilmiah bermutu biasanya tidak lepas dari pandangan akademisi, terutama dosen.  Acep membuktikan karyanya bukanlah ilmu ala menara gading, melainkan benar-benar menyentuh pembaca dengan segmen yang luas. Ini merupakan fakta dari berbagai apresiasi terhadap Buku Puisi dan Bulu Kuduk yang pada beberapa bulan ini diperbincangkan banyak orang, baik melalui apresiasi ringan di jejaring sosial facebook, twitter, maupun forum diskusi terbuka (seperti di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Darul Ulum Jombang dan Pesantren Tebu Ireng Jombang).

Kedua, esai-esai sastra dan budaya (yang di dalamnya juga banyak menyertakan masalah politik, ekonomi dan agama) tersebut bukanlah karya sastra cupet yang sekedar bicara saklek soal sastra, atau bicara budaya dalam ruang lingkup terbatas kesenian. Misalnya, sekalipun ia bicara soal karya sastra cengeng, tetapi ia mampu menautkan hubungan kecengengan itu dengan situasi umum di mana mentalitas masyarakat kita memang dekat dengan kecengengan.

 Universalitas karya

Dua alasan di atas memberikan pelajaran kepada penulis, penerbit buku dan juga para pembaca untuk memetik hikmah sebagai berikut: Sebuah karya, sekalipun  temanya hanya diminati gololongan terbatas, tetapi jika isinya memiliki visi universal, secara otomatis menjelma menjadi karya publik yang bisa dinikmati banyak orang.  Kalaupun di masa sekarang karya ilmiah cenderung diabaikan, itu bukan berarti masyarakat tidak butuh ilmu, melainkan karena pola penyampaiannya yang mungkin kurang komunikatif.

Acep,-entah sadar atau tidak,-memiliki kecerdasan emosional dalam menghubungkan kegiatannya berkesenian dengan bidang lain. Kemampuannya mengintegrasikan kegiatan seninya dengan bidang lain, dalam bentuk esai ilmiah-popular itulah yang membuat tulisan Acep menarik perhatian. Ia mahir mengemas pemikirannya ke dalam ruang publik sehingga gagasannya bisa dinikmati; baik dinikmati sebagai estetik maupun sebagai upaya pemenuhan pembaca dalam mendapatkan ilmu-pengetahuan.

Memang, seharusnya,  seorang penulis yang baik mestilah seorang ilmuwan yang baik. Ilmuwan yang baik, mampu melepaskan diri dari egoisme berkarya. Prinsip eksistensi memang perlu dan penting karena di sanalah hakekat kebebasan dinikmati. Tetapi, bagaimana pun juga seorang penulis perlu menyadari posisinya berhadapan dengan kemajemukan. Acep sadar puisi tidak terpisah dari realitas sosial, karena itulah Acep bicara politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Tentu tidak sekedar bicara, melainkan terus mengasah dirinya dengan bacaan yang ketat serta pergaulan intelektual yang luas.

 Sebuah karya yang baik mestinya melayani calon pembaca. Sebab sebuah karya tak kan lepas dari hukum timbale-balik: konsumen membutuhkan, produsen membuatkan. Pecinta sastra butuh ilmu pengetahuan yang mendalam dan mudah dipahami, Acep melayani akan hal itu. Selain member ilmu (wacana), Acep melalui buku itu juga memberikan panduan praktis sehingga banyak pembaca merasakan manfaat konkret setelah membacanya.

Buku Puisi dan Bulu Kuduk memberikan kesaksian personalitas sang penulis dengan kewibawaan dan karakternya bisa mempengaruhi pembaca. Acep bukanlah penyair sambilan yang kadang gemar bersajak kadang gemar berpolitik, atau kadang gemar berkegiatan agama. Acep adalah seorang seniman tulen. Sejak remaja jalan hidupnya didedikasikan untuk berkesenian.

Kemahirannya meracik kata dalam bentuk tulisan panjang, detail dan penuh wawasan secara tidak langsung menjadikan dirinya pemikir yang berwawasan kebudayaan. Kebudayaan di sini bukan terbatas budaya seni, kesenian dan hiburan, melainkan meliputi keilmuan, mentalitas, etos dan mindset hidup.

 Posisi seniman.

Menyadari posisinya sebagai seniman, ia pun sadar bagaimana harus berbuat untuk masyarakat. Ia tak bisa disebut sastrawan kiri, tetapi sangat sulit untuk tidak mengatakan Asep berjiwa sosialis. Hal itu tak perlu ditanyakan kepada dirinya, melainkan bisa dilihat dari karya-karyanya.

Kata Lenin, “Sastra haruslah menjadi roda penggerak dan baling-baling dari sebuah mesin besar sosial demokrasi”. Acep bersama rekan-rekan seniman di Tasikmalaya dan sekitar Jawa Barat, aktif bergerak menjadikan sastra sebagai gerakan sosial.

Acep tak mudah larut oleh tren, tak mudah dibeli kekuasaan, tak juga autis berdiri sendiri dengan keasyikannya beretorika. Acep memiliki keberpihakan yang jelas. Untuk siapa seniman berkarya? Bagaimana seharusnya seniman hidup dan berperan?

Acep telah memiliki karakter yang kokoh. Ia pewaris sah seniman tulen, yang idealis tapi fungsional. Ini yang membedakan dengan beberapa seniornya yang masih hidup, tetapi tak lagi punya taring karena hilang kepekaan sosialnya dan mati kutu di dalam arena politik praktis.[]FAIZ MANSHUR. Pemerhati Budaya, Tinggal di Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar